KAJIAN ISLAM INTENSIF TENTANG MANASIK HAJI DAN UMRAH #9: BAGIAN 09 DARI 30

بســـمے الله الرّحمنـ الرّحـيـمـے
الســـلامـ عليكــــمـ ورحمة الله وبركــــاته  

Alhamdulillāh segala syukur hanya milik Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita duduk bersama untuk melanjutkan kembali kajian Islam Intensif kita tentang manasik haji.

Shalawat dan salam semoga selalu Allāh berikan kepada Nabi kita Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam, pada keluarga beliau, para sahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau sampai hari kiamat kelak.

Bapak, Ibu, Saudara-Saudari seiman yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita melanjutkan permasalahan selanjutnya yaitu:  Syarat-syarat haji.

Yang dimaksud dengan syarat-syarat haji adalah sesuatu yang harus ada di dalam atau ketika ingin melaksanakan amal ibadah haji.

Jika tidak ada maka tidak sah ibadah hajinya. 

Misalnya:

Syarat sahnya shalāt adalah berwudhū, jika tidak ada wudhū maka tidak sah shalātnya.

Tetapi bila orang berwudhū apakah harus shalāt terus?

Jawabannya: “Tidak.”

Begitu juga syarat haji adalah sesuatu yang harus ada dalam amal ibadah haji, tetapi jika ada syaratpun tidak harus melaksanakan ibadah haji terus menerus.

◆ Syarat ibadah haji

⑴ Islām

Islām adalah syarat sah, artinya orang kāfir tidak akan sah ibadah hajinya.

Kalau dia menunaikan ibadah haji dari mulai dari thawāf, sai, wuqūf di ‘Arafāh, mabit di Mudzalifah, Mina, thawāf ifadhah, thawāf wada, seluruhnya dia kerjakan sempurna tetapi dalam kekāfiran maka tidak sah ibadah hajinya.

Hal ini berdasarkan sebuah ayat di dalam Al Qurān yang menunjukkan bahwasanya amalan-amalan orang kāfir dan musyrik dijadikan seperti debu yang berterbangan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla pada hari kiamat.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan.”

(QS Al Furqān: 23)

Dan dalam hadīts riwayat Bukhari dan Muslim dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu bercerita:

بَعَثَنِي أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ فِي الْحَجَّةِ الَّتِي أَمَّرَهُ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فِي رَهْطٍ يُؤَذِّنُونَ فِي النَّاسِ يَوْمَ النَّحْرِ لاَ يَحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ

Aku pernah diutus oleh Abū Bakar ketika menunaikan ibadah haji yang dipimpin oleh Abū Bakar As shidiq atas perintah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam sebelum haji wada, untuk berseru dihadapan manusia:

“Tidak boleh setelah tahun ini (ke-9 Hijriyyah) seorang musyrikpun melakukan ibadah haji, dan tidak boleh orang ber thawāf dalam keadaan telanjang.”

(HR Muslim nomor 2401, versi Syarh Muslim nomor 1347)

Kebiasaan orang kāfir Quraisy, mereka mewajibkan siapa yang datang ke Mekkah untuk memakai pakaian yang mereka sediakan ketika ingin thawāf, jika pakaian itu habis maka mereka harus melepas pakaian mereka dan thawāf dalam keadaan telanjang.

Ini untuk menunjukkan kewibawaan orang kāfir Quraisy bahwasanya merekalah yang menguasai Ka’bah pada waktu itu.

⑵ Berakal

Berakal adalah syarat sah, artinya orang yang gila tidak sah menunaikan ibadah haji.

Hal ini berdasarkan sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh Imām Abū Dāwūd nomor 3823 (versi baitul Afkar nomor 4401) bahwa menantu Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam (Ali bin Abi Thālib radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu) meriwayatkan, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يُفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena atas tiga orang yaitu orang gila yang hilang akalnya sampai sadar, orang yang tertidur sampai bangun dan anak kecil sampai bāligh.”

⇒Maksud diangkat pena adalah tidak dicatat sebagai amalan, baik dia melakukan amalan dosa atau amal baik.

Anak kecil ketika yang belum bāligh melaksanakan ibadah haji pahalanya untuk orang tuanya karena pahalanya tidak dicatat.

Anak kecil yang belum bāligh dan telah melaksanakan ibadah haji, kalau sudah bāligh dia masih wajib untuk melaksanakan ibadah haji lagi karena haji sebelumnya disebut haji sunnah.

 ⑶ Bāligh

Bāligh adalah sebuah keadaan pada diri seseorang yang dibatasi oleh syari’at Islām.

Ketika seseorang sampai kepada batas itu, maka diwajibkan atasnya menunaikan beban-beban syari’at di dalam agama Islām.

Bāligh bisa diketahui dengan beberapa hal, yaitu:

① Bermimpi dan keluar mani.

② Berumur sampai 15 tahun.

Jika seseorang sudah berumur 15 tahun berarti dia sudah bāligh. Sebagaimana dalīlnya bahwasanya para shahābat radhiyallāhu Ta’āla ‘anhum tidak diizinkan berperang atau ikut berperang ketika mereka berumur masih 14 tahun, tahun. depannya baru diizinkan untuk berperang yaitu dalam perang badar dan perang uhud.

Menunjukkan bahwa umur 15 tahun adalah batas terendah seseorang sampai pada derajat bāligh.

⑶ Tumbuh bulu-bulu disekitar kemaluan

Tumbuh bulu-bulu disekitar kemaluan maka ini menunjukkan kepada kebālighan seseorang. 

Bila sudah bāligh maka diwajibkan atasnya beban-beban syari’at yang dibebankan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla seperti: shalāt, puasa, zakāt, haji bagi yang mampu dan lain-lainnya.

Dan apabila dia melakukan dosa maka dicatat atasnya dosa tersebut.

Ini bedanya orang yang bāligh dengan orang yang tidak bāligh.

Kemudian khusus untuk wanita ada tambahan tanda bāligh yaitu dengan keluarnya darah hāidh pada wanita tersebut. Meskipun umur anak wanita tersebut belum sampai 15 tahun.

Dan kembali kepada syarat apabila seorang yang belum bāligh menunaikan ibadah haji maka hajinya sah tetapi dia wajib untuk menunaikan ibadah haji lagi.

Syarat ketiga ini (bāligh) adalah syarat wajib bukan syarat sah.

Jika ada anak umur 10 tahun, belum bāligh, menunaikan ibadah haji, hajinya sah asalkan dia menunaikan kewajiban dan rukun-rukun haji, akan tetapi tidak diwajibkan.

Artinya seandainya dia nanti bāligh maka dia wajib menunaikan ibadah haji lagi.

Hal ini sebagaimana dalam hadīts ‘Abdullāh bin ‘Abbāsra radhiyallāhu Ta’āla ‘anhuma Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا صَبِيٍّ حَجَّ, ثُمَّ بَلَغَ اَلْحِنْثَ, فَعَلَيْهِ [ أَنْ يَحُجَّ ] حَجَّةً أُخْرَى, وَأَيُّمَا عَبْدٍ حَجَّ, ثُمَّ أُعْتِقَ, فَعَلَيْهِ [ أَنْ يَحُجَّ ] حَجَّةً أُخْرَى } رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ, وَالْبَيْهَقِيُّ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ, إِلَّا أَنَّهُ اِخْتُلِفَ فِي رَفْعِهِ, وَالْمَحْفُوظُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ

“Anak kecil mana saja yang melaksanakan ibadah haji kemudian dia bāligh maka pada saat itu wajib baginya menunaikan ibadah haji yang lain.”

(Shahih: Irwā ul Ghaliīl 986, al Bahaqi V/156)

Karena haji yng sebelumnya tidak dinamakan haji Islām atau haji wajib karena dia mengerjakan pada saat yang belum diwajibkan dia Menunaikan ibadah haji.

Dalīl yang menunjukkan syarat bālighnya seseorang adalah hadīts dari Ali bin Abi Thālib radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يُفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena atas tiga orang yaitu orang gila yang hilang akalnya sampai sadar, orang yang tertidur sampai bangun dan anak kecil sampai bāligh.”

(HR Imām Abū Dāwūd nomor 3823, versi baitul Afkar nomor 4401)

Para ulamā menyatakan dari hadīts ini setiap anak yang bisa mengeluarkan mani baik lewat mimpi atau lewat paksaan artinya kalau ada anak yang berusaha dia mengeluarkan maninya dengan usahanya maka dia telah bāligh meskipun dia tidak mimpi.

Mudah-mudahan ini bermanfaat.

صلى الله على نبينا محمد
و السّلام عليكم ورحمة الله وبر كا ته

Bersambung ke bagian 10, In syā Allāh
________

🌾 Donasi Program Dakwah Islam Cinta Sedekah & Bimbingan Islam ;

🌐 http://cintasedekah.org/program-cinta-sedekah/

💰 INFAQ       
🏦 Bank Syariah Mandiri        (Kode Bank 451)
📟 7814 5000 17
🏢a.n Cinta Sedekah Infaq