KAJIAN ISLAM INTENSIF TENTANG MANASIK HAJI DAN UMRAH #17: BAGIAN 17 DARI 30

بســـمے الله الرّحمنـ الرّحـيـمـے
الســـلامـ عليكــــمـ ورحمة الله وبركــــاته  

Alhamdulillāh, kita bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, shalawat dan salam semoga selalu Allāh berikan kepada Nabi kita Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam, pada keluarga beliau, para shahābat serta orang-orang yang mengikuti beliau sampai hari kiamat kelak.

Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, pada kesempatan kali ini kita akan membicarakan ihrām.

Kemudian setelah itu dianjurkan bagi orang yang ingin berihrām (kalau bisa dalam keadaan setelah shalāt fardhu).

Kenapa?

Karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berihrām setelah shalāt fardhu.

Dari sini para ulamā berbeda pendapat, apakah untuk ihrām ada shalāt tertentu dan khusus. Artinya bila seseorang sudah berihrām atau ingin berihrām kemudian dia shalāt dua raka’at ?

Maka jawabannya yang benar adalah berihrām setelah selesai shalāt fardhu (ini yang disunnahkan) adapun shalāt khusus untuk ihrām maka tidak ada syari’atnya dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Tetapi jika kita berihrām dari Dzulhulaifah maka kita dianjurkan untuk shalāt, bukan karena ihrāmnya tetapi karena tempatnya.

Berdasarkan sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dari ‘Umar bin Khathab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhū beliau bercerita, bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :

” أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِي حَجَّةٍ “

Tadi malam aku didatangi oleh seorang malāikat utusan dari Rabb-Ku (Jibrīl ‘alayhissalām) kemudian Jibrīl berkata:

“Shalātlah ditempat yang penuh dengan berkah ini (pada waktu itu adalah Dzulhulaifah) dan ucapkanlah aku menunaikan ‘umrah dalam haji.”

(HR Bukhari nomor 1534)

Ini menunjukkan bahwanya khusus untuk Dzulhulaifah dishalāti dua raka’at, bukan karena ihrāmnya tetapi karena tempatnya.

Kemudian setelah itu, naik ke atas kendaraan, kalau seandainya orang itu melewati jalan darat baik itu bis, mobil, unta atau ketika dia di atas pesawat, baru setelah itu dia menghadap kiblat kemudian dia berihrām.

Untuk permasalahan berihrām di atas kendaraan dan menghadap kiblat ini disebutkan dalam hadīts-hadīts banyak sekali bahkan Syaikul Islām ibnu Taimiyyah rahimahullāh ta’āla mengatakan :

فهذه نصوص صحيحة أنه إنما أهل حين استوت به راحلته واستوى عليها

“Hadīts-hadīts yang shahīh ini menunjukkan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berihrām ketika kendaraannya sudah dipersiapkan (unta beliau sudah naik) dan beliau berada di atas unta baru beliau berihrām, beliau berada disitu (diatas unta tersebut).”

Semestinya kita mencontoh, jika kita sekarang menggunakan mobil (bis) ketika kita naik bis lalu menghadap kiblat maka saat itulah kita berihrām.

Dalīl-dalīl yang menunjukkan akan hal ini adalah hadīts Bukhāri dan Muslim, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā beliau bercerita:

  مَا أَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلاَّ مِنْ عِنْدِ الشَّجَرَةِ حِينَ قَامَ بِهِ بَعِيرُهُ

“Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak berihrām kecuali dari sisi pohon (sebuah pohon yang ada di Dzulhulaifah) ketika untanya sudah bangun dari tempat duduknya.”

(HR Muslim nomor 1186)

Dalam riwayat lain:

أَهَلَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حِينَ اسْتَوَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ قَائِمَةً

“Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam berihrām ketika untanya sudah berdiri dengan tegak.”

(HR Bukhari nomor 1552)

Sedangkan untuk menghadap kiblat ada riwayat yang lain (bukan dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tetapi perbuatan ‘Abdullāh bin ‘Umar radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā) yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri: 

كَانَ ابْنُ عُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ إِذَا صَلَّى بِالْغَدَاةِ بِذِي الْحُلَيْفَةِ أَمَرَ بِرَاحِلَتِهِ فَرُحِلَتْ ثُمَّ رَكِبَ، فَإِذَا اسْتَوَتْ بِهِ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ قَائِمًا، ثُمَّ يُلَبِّي

“‘Abdullāh bin ‘Umar jika selesai shalāt subuh di Dzulhulaifah, beliau minta didatangkan untanya kemudian beliau menaiki untanya.  Jika beliau sudah berada di atas untanya dan untanya berdiri dengan tegak beliau menghadap kiblat dengan berdiri kemudian beliau berihrām dengan bertalbiyyah.”

(HR Bukhari nomor 1553)

Bertalbiyyah, maksudnya mengucapkan “Labbaik allāhuma labbaika hajjan”, kalau seandainya dia berihrām untuk iihram haji Ifrad.

“Walabbaika umratan” kalau seandainya dia berihrām untuk haji Tamattu’ dan “Labbaika hajjan wa umratan” seandainya dia berihrām haji Qirān.

Boleh seseorang memberikan syarat kepada dirinya kalau seandainya dia mungkin di jalan tidak mampu untuk menyelesaikan haji dan umrah. Karena perlu diketahui seorang yang sudah masuk ihrām (niat untuk menunaikan ibadah haji dan umrah), maka dia tidak boleh menggagalkannya, berdasarkan:

وَأَتِمُّواْ الحج والعمرة لله

“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla.”

(QS Al Baqarah: 196)

Kalau dia sudah berihrām kemudian dia keluar dari ihrāmnya maka dia harus bayar sangsi (fidyah), akan tetapi jika dia memberikan syarat kepada dirinya maka dia lepas dari sangsi tersebut kalau seandainya dia tidak melanjutkan penyempurnaan ibadah haji dan umrahnya.

Ini fungsi syarat, dan syaratnya mengucapkan:

إن حبسني حابس فمحلي حيث حبستني

“Jika ada sesuatu yang mengahalangiku maka tempat halalku adalah di mana aku terhalang (artinya) aku bisa terhalang.”

Artinya terhalang dari keadaan ihrām ketika aku terhalang di mana disitu aku keluar dari keadaan ihrām.

Ingat! Kata-kata ihrām jangan hanya diletakkan pada hal ini (pada kain ihrām). Tidak!

Ihrām adalah sebuah keadaan bukan sebuah kain, yaitu seorang berarti dalam keadaan ihrām dia sudah melaksanakan ibadah haji dan umrah yang mana keadaan orang yang berihrām ada hal-hal yang merupakan larangan baginya untuk tidak dilanggar. (nanti akan kita jelaskan In syā Allāh).

Dalīl yang menunjukan bahwasanya boleh memberikan syarat tadi adalah hadīts riwayat Muslim dari ‘Abdullāh bin ‘Abbās radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā bahwa Duba’ah binti Zubair radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā pernah mendatangi Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

إِنِّي امْرَأَةٌ ثَقِيلَةٌ وَإِنِّي أُرِيدُ الْحَجَّ فَمَا تَأْمُرُنِي قَالَ  ” أَهِلِّي بِالْحَجِّ وَاشْتَرِطِي أَنَّ مَحِلِّي حَيْثُ تَحْبِسُنِي “

“Wahai Rasūlullāh, aku wanita yang sudah tua tapi aku ingin berhaji, lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku?”

Kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

“Kerjakan haji dengan Ifrad dan berikanlah syarat kepada dirimu dengan mengucapkan ‘bahwasanya tempatku untuk bertahalul adalah di mana aku terhalang.”

(HR Muslim nomor 1208)

Jadi kalau orang sudah tua memberikan syarat kepada dirinya, karena kalau sudah tua tidak mampu lagi dia mengerjakan thawāf (misalnya) akhirnya dia keluar dari ihrāmnya (tidak jadi melaksanakan ibadah haji dan umrah).

Maka pada saat itu kalau seandainya dia bertahallul maka dia keluar dari ihrāmnya kemudian dia diperbolehkan mengerjakan hal-hal yang dilarang dan tidak ada apa-apa baginya (tidak membayar sangsi).

Ini utamanya memberikan syarat kepada dirinya ketika dia berihrām.

Mudah-mudahan ini bermanfaat.

صلى الله على نبينا محمد
و السّلام عليكم ورحمة الله وبر كا ته

Bersambung ke bagian 18, In syā Allāh
_______
Yuk.. ikut Saham Akherat
Pembelian Rumah U/ Markaz Dakwah & Studio Bimbingan Islam

| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank : 451
| No. Rek : 710-3000-507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
Konfirmasi Transfer Via WA/SMS & Informasi ;  0811-280-0606 (BIAS CENTER 06)